Title : Comeback, Please!
Cast :
- Donghae
- Jung Soo yeon [Jessica]
Type : Oneshot
Rating : 13+
Genre : Ah mollayo, aku bingung kalau disuruh nempatin genre.
;; ini fanfic terinspirasi dari sebuah puisi yang dibuat oleh temenku haha. Gomawo, untuk puisinya eonni;;
;; Ini juga bakal dibuat ver. Seokyu jadi buat fans Seokyu tenang aja hehe;;
.
.
.
Semilir angin sore berhembus menerbangkan setiap benda ringan yang
dilewatinya. Tak terkecuali helaian rambut seorang pemuda berparas
tampan yang kini sedang berdiri di atas rerumputan hijau. Kedua mata
indahnya menerjang pemandangan yang telah tersedia disana. Matanya yang
sudah sendu itu semakin menyendu sesaat sebuah memori mengalir
dihadapannya pada sebuah layar tak kasat mata—hanya dia sendiri yang
bisa melihatnya.
Terasa ada sebuah beban berat telah membuat dirinya tak sanggup lagi
untuk berdiri. Akhirnya, pemuda itu jatuh berlutut, tangan kanannya
meremas bagian dada kirinya yang tiba-tiba saja sakit. Matanya yang sayu
itu berubah menjadi sebuah bendungan air mata yang dia tahan.
Hatinya sudah hancur sekarang. Mungkin sudah tidak ada yang sanggup
lagi untuk seseorang berlabuh dihatinya. Dan mungkin, jika ada seseorang
yang sanggup untuk membuat hatinya berbaik lagi, hanya ada satu
orang—yang entah kapan bisa kembali lagi ke hadapannya—ke dalam hatinya.
Dalam sebuah hitungan detik, air mata yang dia bendung tadi kini
sudah mengalir melewati pipinya yang putih itu. Desakan memori dalam
ingatannya lah yang membuatnya sudah tidak bisa lagi membuat air matanya
kembali dalam peraduannya. Dia sudah tahu konsekuensinya jika datang ke
tempat yang penuh kenangan ini. Pasti akan menjadi begini—menangis.
Dia tidak terisak. Tapi menangis dalam diam.
Kenangan-kenangan yang penuh dengan sebuah kemanisan yang tak sanggup
jika dihilangkan dari ingatan itu membuatnya menjadi seperti seorang
perempuan yang mudah untuk mengeluarkan air matanya. Tidak, dia bukan
wanita. Dia hanya belum bisa untuk berdiri sendiri sekarang—belum siap
untuk ditinggalkan.
“Donghae, bisa kah kita bicara ?” seorang gadis datang
menghampirinya. Donghae tersenyum dan mengangguk untuk mengiyakan.
“Tapi, tidak disini. Mungkin di halaman belakang sekolah” gadis itu
melanjutkan ajakannya.
Hari ini adalah hari kelulusannya. Hari dimana sebuah perpisahan
akan di mulai. Hari dimana yang ditunggu-tunggu oleh Donghae dan hari
dimana ia takutkan karena tak ingin orang yang dia sayangi pergi dari
kehidupannya, yah, walaupun masih bisa bertemu lagi entah kapan dia
tidak menyukai itu.
Donghae mengikuti langkah gadis yang tadi mengajaknya untuk bicara berdua.
Dalam benaknya kini bergumuruh, seakan tahu pertemuan diam-diam
ini akan menjadi sebuah pembicaraan yang menyakitkan. Sebelum sampai
tempat yang di inginkan, Donghae sudah memberhentikan langkahnya.
“Tunggu, kau ingin membicarakan apa?” tanya Donghae, membuat
gadis itu terhenti, tapi tidak membalikkan diri. Dengan langkah ragu,
Donghae menghampiri gadis itu, berdiri dibelakangnya.
Gadis itu tersenyum lirih, tubuhnya yang tadi tenang itu
tiba-tiba bergetar. Kata-kata yang sudah ia rangkai saat perjalanan
sebelum memanggil Donghae tadi seketika buyar. Kepalanya tertunduk
seakan menutupi wajahnya yang sedih itu.
“Di sini saja. Lagipula tempat ini sepi, bicaralah.”
“Baiklah,” gadis itu menganggukkan kepalanya pelan, “Aku akan
pergi setelah ini. Aku tidak tahu ayah akan mengirimku ke Negara mana.
Itu di rahasiakan. Dan setelah aku menyampaikan ini, berarti sampai sini
juga hubungan ini… Ku harap kau dapat pengganti yang lebih baik
dibanding aku.”
Donghae memebeku. Setelah mendengar kata demi kata yang
dilontarkan oleh gadis itu. Donghae seperti sebuah patung yang dipahat
sedemikian rupa dengan wajah yang terkejut—tapi masih terlihat manis. Lidahnya terasa kelu untuk memohon untuk gadis itu jangan pergi. Benar dugaannya—pembicaraan ini akan menyakitkan.
“Jadi, selamat tinggal. Aku akan selalu mengingatmu dan terima
kasih untuk semuanya, Donghae” Setelah mengucapkan kalimat yang
menyakitkan itu, gadis itu berbalik, menghadapkan dirinya pada Donghae.
Ditariknya sebuah senyuman memenuhi wajahnya, menahan air mata yang
hampir jatuh dipipi. “Selamat tinggal”
“Jangan pergi. Kau lupa dengan impian kita, kau lupa semuanya”
akhirnya Donghae berbicara, itupun penuh dengan kekuatan untuk menahan
suaranya yang bergetar. “Jangan pergi, ku mohon”
Gadis itu tidak berbicara, melainkan terus berjalan dengan tenang
melewati Donghae yang kini masih tetap berdiri ditempatnya berpijak.
Gadis itu juga tidak bisa terus disana, melihat Donghae yang mendesaknya
untuk tidak pergi. Yang adanya, dia akan semakin berat untuk
meninggalkan Donghae—kekasihnya.
Donghae semakin menjadi diam. Ucapannya barusan tidak didengar
sama sekali oleh gadis itu. Jadi, gadis itu benar-benar tidak bercanda.
Gadis itu akan pergi dari kehidupannya, meninggalkannya sendirian.
Donghae membalikkan diri, matanya yang sayu itu menatap punggung gadis
itu yang sudah semakin jauh.
“Aku tidak bisa sendirian tanpa mu” katanya lirih, disuguhi oleh senyuman getir. “Aku mohon berbalik”
Percuma. Gadis itu sudah menghilang dari pandangannya. Gadis yang
dicintainya sepenuh hati itu sudah tidak kembali lagi dalam pelukannya.
Kenangan terakhir yang dia ingat itu baru saja terbayang dalam
ingatannya. Pertemuan terakhir dengan gadis itu membuatnya kembali
mengeluarkan Kristal bening dari ujung matanya yang indah itu.
Seandainya ia tahu dimana gadis itu sekarang, seandainya gadis itu
mengkabari dirinya. Seandainya gadis itu kembali dalam pelukannya. Yah,
hanya seandainya, belum tentu akan terwujud dalam dunia yang nyata.
Donghae semakin meremas dada kirinya yang terasa sakit itu. Dia
benar-benar merindukan gadisnya dalam hari-hari yang dilalauinya. Ini
sudah tahun ke-tiga gadis itu menghilang dalam hari-harinya, walaupun
sudah lama, Donghae masih saja tetap tidak bisa melanjutkan harinya
dengan sebuah senyuman hangat. Dia butuh gadis itu.
Tubuh yang sudah kurus itu semakin seperti sebuah tulang yang hanya
mempunyai sedikit daging dalam kulitnya. Ia jarang sekali untuk memakan
makanan yang sehat. Dia seperti lupa untuk cara bertahan hidup. Dia
seperti tidak bisa untuk melanjutkan hidupnya, ingin mati perlahan,
membiarkan tubuhnya yang semakin kurus.
“Donghae, makanlah. Kau sedang sakit? Aaa, buka mulutmu” Donghae
membuka mulutnya yang kecil itu, lidah yang dirasa pahit itu kini
seperti manis saat bubur buatan gadis itu mendarat di mulutnya.
“Bagaimana enakkan?” Donghae menangguk pelan, wajahnya yang pucat
itu melukiskan sebuah senyuman. “Nah, bagus. Aku tidak mau ke sekolah
tanpamu jika kau sakit seperti ini. Aku tidak punya teman selain kau.”
Donghae tersenyum lagi, “Baik-baik, hanya untuk hari ini aku akan
sakit. Janji!” ucapnya sembari jemarinya terangkat dan membentuk huruf
‘v’ sebagai sebuah bukti janji yang dia ucapkan.
Gadis itu tersenyum senang, “Janji. Jika kau sakit lagi, aku tidak akan mau merawatmu lagi”
Donghae telah melanggar janjinya di kala itu. Sekarang, dia
sering jatuh sakit karena tidak makan. Tubuhnya semakin lemah. Ternyata
benar apa yang gadis itu katakan, Donghae telah jatuh sakit lagi dan
gadis itu tidak akan merawatnya. Ucapan gadis itu benar-benar di
lakukan.
Ia kemudian berteriak, membuat sebuah gema yang terdengar begitu
menyakitkan. Angin yang tadinya melembut itu tiba-tiba menjadi kencang
seperti tahu yang dirasakan oleh pemuda berwajah manis itu.
Matanya semakin membengkak, seperti habis dipukuli oleh beberapa
orang. Tapi dia tidak perduli, yang dia inginkan hanyalah gadis-nya
untuk kembali di sampingnya. Memberikan sebuah semangat untuk
menyuruhnya bertahan.
“Ayo semangat. Besok kau ada sebuah perlombaan kan? Berlatih lah
sedikit lagi” sebuah perkataan semangat itu membuat Donghae kembali
berdiri setelah ia terjatuh untuk ke sekian kalinya.
Dia dalam sebuah perlombaan yang akan dia lakukan esok hari. Yah,
kompetisi dance. Dia telah mendaftarkan dirinya untuk itu. Dan kali
ini, mereka sedang berada diruang latihan. Donghae sedang berlatih untuk
kompetisi esok.
“Ya, aku akan berlatih lagi. Dasar bocah mengesalkan, kau itu tidak tahu yah rasanya jadi aku”
“Semangat Donghae. Ini untuk dirimu, kau harus menang!”
Donghae tersenyum getir. Sebenarnya, dia tidak ingin lagi memori itu
kembali lagi di hadapannya. Sudah cukup berusaha untuk membuang memori
itu, tapi nyatanya ia tidak bisa melakukan itu. Memori itu kembali lagi
dan lagi dalam buku besar didalam ingatannya.
“Kembali ku mohon, Soo yeon” dengan suara yang sangat lirih, Donghae
berhasil menggumamkan sebuah nama yang sudah tiga tahun ini tidak dia
ucapkan. Ya, dia terlalu takut untuk mengeluarkan nama itu dari
bibirnya.
Nama itu yang berhasil membuatnya menjadi orang yang patah arah seperti ini. Nama itu yang membuatnya harus seperti orang gila.
Air matanya sudah kering. Sudah tak sanggup lagi untuk menangis.
Langit sudah mulai berubah warna, tanda malam akan datang sebentar
lagi. Namun, Donghae masih tetap terduduk disana, masih larut dengan
kesedihannya. Dia tidak ingin beranjak dari sana. Berharap gadis itu
kembali ke hadapannya, menampilkan senyuman yang ia rindukan,
mengeluarkan suara manis yang ia ingin dengarkan. Ya, itu hanya harapan,
sangat mustahil mungkin untuk dikabulkan.
“Aku sakit, Soo yeon. Aku mohon kembali,” lagi-lagi remasan jemarinya itu semakin kuat, menahan sakit yang luar biasa.
“Kau sakit? Aku sudah bilang padamu, bahwa jika kau sakit lagi aku tidak akan merawatmu lagi”
Donghae membeku. Saat sebuah halus nan dingin itu kembali terdengar
dipendengarannya. Sebuah suara yang sudah lama dia rindukan. Dengan
cepat, dia menolehkan kepalanya penuh. Matanya yang sudah sipit itu
melebar, sebuah sosok yang ia rindukan kini telah berada didepannya. Oh,
ini tidak mimpi kan?
“Apa yang kau lihat? Mengapa seperti melihat hantu?” ucapan tanpa dosa itu membuat Donghae tersenyum lebar.
Dengan gerakan yang cepat, Donghae beranjak dari sana, berlari dan
memeluk gadis itu. Pelukannya semakin erat saat ia rasakan ini bukanlah
hanya mimpi. Melainkan sebuah kenyataan yang dia bisa rasakan sendiri.
“Aku rindu padamu, dasar bocah kecil mengesalkan” gerutu Donghae
disamping telinga gadis itu. Gadis itu hanya tersenyum kecil mendengar
perkataan ‘mengesalkan’ dari Donghae. Tapi itu tidak membuatnya menjadi
tersinggung, malah dia senang mendapatkan perkataan itu lagi.
“Apakah aku juga rindu padamu? Kurasa tidak” Soo yeon sedikit
menggoda Donghae, jauh didalam hatinya gadis itu benar-benar merindukan
sosok tampan yang satu ini.
“kau memang bocah mengesalkan! Sudah meninggalkanku tanpa sebab
sekarang sudah bertemu tidak merindukan aku? Kau butuh diberi pelajaran”
gadis itu hanya tersenyum geli, menanggapi perkataan yang keluar dari
mulut Donghae.
“kau itu cepat sekali sih tersinggung. Aku hanya bercanda, aku juga merindukanmu sangat!”
Donghae merenggangkan pelukannya, matanya menatap lekat pada kedua
manic mata Soo yeon. “Mengapa kau pergi? Apa yang membuatmu pergi? Kau
tahu, aku seperti orang gila yang ditinggal olehmu”
Bukannya terharu, Soo yeon lebih memilih tertawa kecil, “kau itu
berlebihan sekali. Mengapa kau seperti ini, aku bilang padamu bahwa kau
harus mencari penggantiku”
Donghae menyerngitkan keningnya, dia merasa bahwa gadis itu seperti
tidak ingin menginginkannya lagi. “Jadi kau menyuruhku untuk
menggantikanmu. Tidak. Tidak akan ku lakukan”
“Jika aku tidak kembali kesini. Kau akan menjadi seorang lelaki tua
yang tidak pernah menikah. Lagipula kau itu tampan mengapa tidak bisa?
Hey, perempuan di luar sana banyak yang menunggumu.”
Donghae semakin menyipitkan matanya mendengarkan perkataan gadis itu,
“Jadi, kau! Ish, bocah mengesalkan. Tapi nyatanya kau sudah disini,”
“Donghae. Apakah masih ada ruang untukku? Setelah aku telah
meninggalkanmu cukup lama?” sebenarnya gadis itu malu untuk mengatakan
hal ini, lihat saja pipinya yang putih itu kini berubah warna menjadi
sedikit memerah.
Donghae menyunggingkan senyumannya, “Apakah juga masih ada ruang
untukku setelah kau tinggalkan aku cukup lama?” gadis itu menganggukkan
kepalanya mantap, tentu saja masih ada, malah setelah meninggalkan
Donghae rasa cintanya makin bertambah pada pemuda tampan ini.
“kalau begitu, aku pun sama.” Singkat namun bisa membuat gadis itu
memerah karena malu dan juga kesenangan. “Hey, kau belum menjawab. Apa
alasanmu pergi!”
“aku dikirim ayah ke Canada untuk melanjutkan study, dia menyuruhku
untuk cepat. Dan yeah, begitulah. Ah sudahlah tak usah ditanyakan lagi,
yang terpenting aku sudah ada disini. Buat apa kau menanyakan hal itu”
Donghae mendengus kesal, dia kan hanya bertanya, mengapa menjadi dibentak. “Maaf. Aku hanya ingin bertanya” katanya menyesal.
Gadis itu terkikik geli, dia selalu suka melihat wajah Donghae saat menyesal seperti ini. Lucu.
“Jangan seperti itu!”
“Baik-baik”
“lalu mengapa kau tahu aku ada disini?”
“Aku tahu kau ada dimana. Entahlah seperti ada magnet untuk menyuruhku kesini”
Donghae tersenyum. Kembali ia masukkan tubuh yang lebih mungil
darinya itu masuk ke dalam pelukannya. Ingin kembali menyalurkan sebuah
kerinduan yang sudah ia pendam begitu lama. Mereka berpelukan dengan
erat. Tak perduli jika langit malam sudah mulai menghiasi di atas kepala
mereka.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar