Selasa, 28 Agustus 2012

Comeback, Please! [Haesica Ver.]

Title : Comeback, Please!
Cast :
- Donghae
- Jung Soo yeon [Jessica]
Type : Oneshot
Rating : 13+
Genre : Ah mollayo, aku bingung kalau disuruh nempatin genre.
;; ini fanfic terinspirasi dari sebuah puisi yang dibuat oleh temenku  haha. Gomawo, untuk puisinya eonni;;
;; Ini juga bakal dibuat ver. Seokyu jadi buat fans Seokyu tenang aja hehe;;
.

.
.
Semilir angin sore berhembus menerbangkan setiap benda ringan yang dilewatinya. Tak terkecuali helaian rambut seorang pemuda berparas tampan yang kini sedang berdiri di atas rerumputan hijau. Kedua mata indahnya menerjang pemandangan yang telah tersedia disana. Matanya yang sudah sendu itu semakin menyendu sesaat sebuah memori mengalir dihadapannya pada sebuah layar tak kasat mata—hanya dia sendiri  yang bisa melihatnya.
Terasa ada sebuah beban berat telah membuat dirinya tak sanggup lagi untuk berdiri. Akhirnya, pemuda itu jatuh berlutut, tangan kanannya meremas bagian dada kirinya yang tiba-tiba saja sakit. Matanya yang sayu itu berubah menjadi sebuah bendungan air mata yang dia tahan.
Hatinya sudah hancur sekarang. Mungkin sudah tidak ada yang sanggup lagi untuk seseorang berlabuh dihatinya. Dan mungkin, jika ada seseorang yang sanggup untuk membuat hatinya berbaik lagi, hanya ada satu orang—yang entah kapan bisa kembali lagi ke hadapannya—ke dalam hatinya.
Dalam sebuah hitungan detik, air mata yang dia bendung tadi kini sudah mengalir melewati pipinya yang putih itu. Desakan memori dalam ingatannya lah yang membuatnya sudah tidak bisa lagi membuat air matanya kembali dalam peraduannya. Dia sudah tahu konsekuensinya jika datang ke tempat yang penuh kenangan ini. Pasti akan menjadi begini—menangis.
Dia tidak terisak. Tapi menangis dalam diam.
Kenangan-kenangan yang penuh dengan sebuah kemanisan yang tak sanggup jika dihilangkan dari ingatan itu membuatnya menjadi seperti seorang perempuan yang mudah untuk mengeluarkan air matanya. Tidak, dia bukan wanita. Dia hanya belum bisa untuk berdiri sendiri sekarang—belum siap untuk ditinggalkan.
“Donghae, bisa kah kita bicara ?” seorang gadis datang menghampirinya. Donghae tersenyum dan mengangguk untuk mengiyakan. “Tapi, tidak disini. Mungkin di halaman belakang sekolah” gadis itu melanjutkan ajakannya.

Hari ini adalah hari kelulusannya. Hari dimana sebuah perpisahan akan di mulai. Hari dimana yang ditunggu-tunggu oleh Donghae dan hari dimana ia takutkan karena tak ingin orang yang dia sayangi pergi dari kehidupannya, yah, walaupun masih bisa bertemu lagi entah kapan dia tidak menyukai itu.

Donghae mengikuti langkah gadis yang tadi mengajaknya untuk bicara berdua.

Dalam benaknya kini bergumuruh, seakan tahu pertemuan diam-diam ini akan menjadi sebuah pembicaraan yang menyakitkan. Sebelum sampai tempat yang di inginkan, Donghae sudah memberhentikan langkahnya.

“Tunggu, kau ingin membicarakan apa?” tanya Donghae, membuat gadis itu terhenti, tapi tidak membalikkan diri. Dengan langkah ragu, Donghae menghampiri gadis itu, berdiri dibelakangnya.

Gadis itu tersenyum lirih, tubuhnya yang tadi tenang itu tiba-tiba bergetar. Kata-kata yang sudah ia rangkai saat perjalanan sebelum memanggil Donghae tadi seketika buyar. Kepalanya tertunduk seakan menutupi wajahnya yang sedih itu.

“Di sini saja. Lagipula tempat ini sepi, bicaralah.”

“Baiklah,” gadis itu menganggukkan kepalanya pelan, “Aku akan pergi setelah ini. Aku tidak tahu ayah akan mengirimku ke Negara mana. Itu di rahasiakan. Dan setelah aku menyampaikan ini, berarti sampai sini juga hubungan ini… Ku harap kau dapat pengganti yang lebih baik dibanding aku.”

Donghae memebeku. Setelah mendengar kata demi kata yang dilontarkan oleh gadis itu. Donghae seperti sebuah patung yang dipahat sedemikian rupa dengan wajah yang terkejuttapi masih terlihat manis. Lidahnya terasa kelu untuk memohon untuk gadis itu jangan pergi. Benar dugaannyapembicaraan ini akan menyakitkan.

“Jadi, selamat tinggal. Aku akan selalu mengingatmu dan terima kasih untuk semuanya, Donghae” Setelah mengucapkan kalimat yang menyakitkan itu, gadis itu berbalik, menghadapkan dirinya pada Donghae. Ditariknya sebuah senyuman memenuhi wajahnya, menahan air mata yang hampir jatuh dipipi. “Selamat tinggal”

“Jangan pergi. Kau lupa dengan impian kita, kau lupa semuanya” akhirnya Donghae berbicara, itupun penuh dengan kekuatan untuk menahan suaranya yang bergetar. “Jangan pergi, ku mohon”

Gadis itu tidak berbicara, melainkan terus berjalan dengan tenang melewati Donghae yang kini masih tetap berdiri ditempatnya berpijak. Gadis itu juga tidak bisa terus disana, melihat Donghae yang mendesaknya untuk tidak pergi. Yang adanya, dia akan semakin berat untuk meninggalkan Donghaekekasihnya.

Donghae semakin menjadi diam. Ucapannya barusan tidak didengar sama sekali oleh gadis itu. Jadi, gadis itu benar-benar tidak bercanda. Gadis itu akan pergi dari kehidupannya, meninggalkannya sendirian. Donghae membalikkan diri, matanya yang sayu itu menatap punggung gadis itu yang sudah semakin jauh.

“Aku tidak bisa sendirian tanpa mu” katanya lirih, disuguhi oleh senyuman getir. “Aku mohon berbalik”

Percuma. Gadis itu sudah menghilang dari pandangannya. Gadis yang dicintainya sepenuh hati itu sudah tidak kembali lagi dalam pelukannya.

Kenangan terakhir yang dia ingat itu baru saja terbayang dalam ingatannya. Pertemuan terakhir dengan gadis itu membuatnya kembali mengeluarkan Kristal bening dari ujung matanya yang indah itu.
Seandainya ia tahu dimana gadis itu sekarang, seandainya gadis itu mengkabari dirinya. Seandainya gadis itu kembali dalam pelukannya. Yah, hanya seandainya, belum tentu akan terwujud dalam dunia yang nyata.
Donghae semakin meremas dada kirinya yang terasa sakit itu. Dia benar-benar merindukan gadisnya dalam hari-hari yang dilalauinya. Ini sudah tahun ke-tiga gadis itu menghilang dalam hari-harinya, walaupun sudah lama, Donghae masih saja tetap tidak bisa melanjutkan harinya dengan sebuah senyuman hangat. Dia butuh gadis itu.
Tubuh yang sudah kurus itu semakin seperti sebuah tulang yang hanya mempunyai sedikit daging dalam kulitnya. Ia jarang sekali untuk memakan makanan yang sehat. Dia seperti lupa untuk cara bertahan hidup. Dia seperti tidak bisa untuk melanjutkan hidupnya, ingin mati perlahan, membiarkan tubuhnya yang semakin kurus.
“Donghae, makanlah. Kau sedang sakit? Aaa, buka mulutmu” Donghae membuka mulutnya yang kecil itu, lidah yang dirasa pahit itu kini seperti manis saat bubur buatan gadis itu mendarat di mulutnya.

“Bagaimana enakkan?” Donghae menangguk pelan, wajahnya yang pucat itu melukiskan sebuah senyuman. “Nah, bagus. Aku tidak mau ke sekolah tanpamu jika kau sakit seperti ini. Aku tidak punya teman selain kau.”

Donghae tersenyum lagi, “Baik-baik, hanya untuk hari ini aku akan sakit. Janji!” ucapnya sembari jemarinya terangkat dan membentuk huruf ‘v’ sebagai sebuah bukti janji yang dia ucapkan.

Gadis itu tersenyum senang, “Janji. Jika kau sakit lagi, aku tidak akan mau merawatmu lagi”
Donghae telah melanggar janjinya di kala itu. Sekarang, dia sering jatuh sakit karena tidak makan. Tubuhnya semakin lemah. Ternyata benar apa yang gadis itu katakan, Donghae telah jatuh sakit lagi dan gadis itu tidak akan merawatnya. Ucapan gadis itu benar-benar di lakukan.
Ia kemudian berteriak, membuat sebuah gema yang terdengar begitu menyakitkan. Angin yang tadinya melembut itu tiba-tiba menjadi kencang seperti tahu yang dirasakan oleh pemuda berwajah manis itu.
Matanya semakin membengkak, seperti habis dipukuli oleh beberapa orang. Tapi dia tidak perduli, yang dia inginkan hanyalah gadis-nya untuk kembali di sampingnya. Memberikan sebuah semangat untuk menyuruhnya bertahan.
“Ayo semangat. Besok kau ada sebuah perlombaan kan? Berlatih lah sedikit lagi” sebuah perkataan semangat itu membuat Donghae kembali berdiri setelah ia terjatuh untuk ke sekian kalinya.

Dia dalam sebuah perlombaan yang akan dia lakukan esok hari. Yah, kompetisi dance. Dia telah mendaftarkan dirinya untuk itu. Dan kali ini, mereka sedang berada diruang latihan. Donghae sedang berlatih untuk kompetisi esok.

“Ya, aku akan berlatih lagi. Dasar bocah mengesalkan, kau itu tidak tahu yah rasanya jadi aku”

“Semangat Donghae. Ini untuk dirimu, kau harus menang!”
Donghae tersenyum getir. Sebenarnya, dia tidak ingin lagi memori itu kembali lagi di hadapannya. Sudah cukup berusaha untuk membuang memori itu, tapi nyatanya ia tidak bisa melakukan itu. Memori itu kembali lagi dan lagi dalam buku besar didalam ingatannya.
“Kembali ku mohon, Soo yeon” dengan suara yang sangat lirih, Donghae berhasil menggumamkan sebuah nama yang sudah tiga tahun ini tidak dia ucapkan. Ya, dia terlalu takut untuk mengeluarkan nama itu dari bibirnya.
Nama itu yang berhasil membuatnya menjadi orang yang patah arah seperti ini. Nama itu yang membuatnya harus seperti orang gila.
Air matanya sudah kering. Sudah tak sanggup lagi untuk menangis.
Langit sudah mulai berubah warna, tanda malam akan datang sebentar lagi. Namun, Donghae masih tetap terduduk disana, masih larut dengan kesedihannya. Dia tidak ingin beranjak dari sana. Berharap gadis itu kembali ke hadapannya, menampilkan senyuman yang ia rindukan, mengeluarkan suara manis yang ia ingin dengarkan. Ya, itu hanya harapan, sangat mustahil mungkin untuk dikabulkan.
“Aku sakit, Soo yeon. Aku mohon kembali,” lagi-lagi remasan jemarinya itu semakin kuat, menahan sakit yang luar biasa.
“Kau sakit? Aku sudah bilang padamu, bahwa jika kau sakit lagi aku tidak akan merawatmu lagi”
Donghae membeku. Saat sebuah halus nan dingin itu kembali terdengar dipendengarannya. Sebuah suara yang sudah lama dia rindukan. Dengan cepat, dia menolehkan kepalanya penuh. Matanya yang sudah sipit itu melebar, sebuah sosok yang ia rindukan kini telah berada didepannya. Oh, ini tidak mimpi kan?
“Apa yang kau lihat? Mengapa seperti melihat hantu?” ucapan tanpa dosa itu membuat Donghae tersenyum lebar.
Dengan gerakan yang cepat, Donghae beranjak dari sana, berlari dan memeluk gadis itu. Pelukannya semakin erat saat ia rasakan ini bukanlah hanya mimpi. Melainkan sebuah kenyataan yang dia bisa rasakan sendiri.
“Aku rindu padamu, dasar bocah kecil mengesalkan” gerutu Donghae disamping telinga gadis itu. Gadis itu hanya tersenyum kecil mendengar perkataan ‘mengesalkan’ dari Donghae. Tapi itu tidak membuatnya menjadi tersinggung, malah dia senang mendapatkan perkataan itu lagi.
“Apakah aku juga rindu padamu? Kurasa tidak” Soo yeon sedikit menggoda Donghae, jauh didalam hatinya gadis itu benar-benar merindukan sosok tampan yang satu ini.
“kau memang bocah mengesalkan! Sudah meninggalkanku tanpa sebab sekarang sudah bertemu tidak merindukan aku? Kau butuh diberi pelajaran” gadis itu hanya tersenyum geli, menanggapi perkataan yang keluar dari mulut Donghae.
“kau itu cepat sekali sih tersinggung. Aku hanya bercanda, aku juga merindukanmu sangat!”
Donghae merenggangkan pelukannya, matanya menatap lekat pada kedua manic mata Soo yeon. “Mengapa kau pergi? Apa yang membuatmu pergi? Kau tahu, aku seperti orang gila yang ditinggal olehmu”
Bukannya terharu, Soo yeon lebih memilih tertawa kecil, “kau itu berlebihan sekali. Mengapa kau seperti ini, aku bilang padamu bahwa kau harus mencari penggantiku”
Donghae menyerngitkan keningnya, dia merasa bahwa gadis itu seperti tidak ingin menginginkannya lagi. “Jadi kau menyuruhku untuk menggantikanmu. Tidak. Tidak akan ku lakukan”
“Jika aku tidak kembali kesini. Kau akan menjadi seorang lelaki tua yang tidak pernah menikah. Lagipula kau itu tampan mengapa tidak bisa? Hey, perempuan di luar sana banyak yang menunggumu.”
Donghae semakin menyipitkan matanya mendengarkan perkataan gadis itu, “Jadi, kau! Ish, bocah mengesalkan. Tapi nyatanya kau sudah disini,”
“Donghae. Apakah masih ada ruang untukku? Setelah aku telah meninggalkanmu cukup lama?” sebenarnya gadis itu malu untuk mengatakan hal ini, lihat saja pipinya yang putih itu kini berubah warna menjadi sedikit memerah.
Donghae menyunggingkan senyumannya, “Apakah juga masih ada ruang untukku setelah kau tinggalkan aku cukup lama?” gadis itu menganggukkan kepalanya mantap, tentu saja masih ada, malah setelah meninggalkan Donghae rasa cintanya makin bertambah pada pemuda tampan ini.
“kalau begitu, aku pun sama.” Singkat namun bisa membuat gadis itu memerah karena malu dan juga kesenangan. “Hey, kau belum menjawab. Apa alasanmu pergi!”
“aku dikirim ayah ke Canada untuk melanjutkan study, dia menyuruhku untuk cepat. Dan yeah, begitulah. Ah sudahlah tak usah ditanyakan lagi, yang terpenting aku sudah ada disini. Buat apa kau menanyakan hal itu”
Donghae mendengus kesal, dia kan hanya bertanya, mengapa menjadi dibentak. “Maaf. Aku hanya ingin bertanya” katanya menyesal.
Gadis itu terkikik geli, dia selalu suka melihat wajah Donghae saat menyesal seperti ini. Lucu.
“Jangan seperti itu!”
“Baik-baik”
“lalu mengapa kau tahu aku ada disini?”
“Aku tahu kau ada dimana. Entahlah seperti ada magnet untuk menyuruhku kesini”
Donghae tersenyum. Kembali ia masukkan tubuh yang lebih mungil darinya itu masuk ke dalam pelukannya. Ingin kembali menyalurkan sebuah kerinduan yang sudah ia pendam begitu lama. Mereka berpelukan dengan erat. Tak perduli jika langit malam sudah mulai menghiasi di atas kepala mereka.
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar